Selasa, 01 Maret 2011

Pelajaran Hari Ke-2 : BAHAGIALAH (setiap hari!!!)

Banyak di antara kita menunggu datangnya hari libur. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari yang dinanti-nanti. Kita akan merasa sangat senang dan bahagia ketika datang hari tersebut. Bahkan pada hari Jum’at sore sudah tercium aromanya. Lalu bagaimana dengan hari-hari yang lainnya (senin-jum’at). Apakah berarti hari Senin sampai dengan Jum’at kita tidak bahagia?..atau mungkin sedikit bahagianya dibandingkan hari Sabtu Minggu?

Sayang sekali kalau kita hanya berbahagia hanya kurang lebih 2 hari dalam satu minggu. Itu berarti kita merasa bahagia selama 8 hari dalam satu bulan. Atau kalau kita mau konversi kan lagi, berarti hanya 96 hari dari 365 hari yang kita miliki dalam satu tahun. Itupun kalau kita kalau semua hari sabtu-minggu kita benar-benar berbahagia.

Dan ternyata, ada juga yang tidak bisa betul-betul bahagia sekalipun pada hari Sabtu-Minggu. Sering kita lihat hari Sabtu-Minggu di isi oleh banyak keluarga dengan bepergian, misal menginap di vila. Ada pendapat menarik, alasan bepergian,di antaranya adalah karena jenuh atau daripada bertengkar di rumah. Karena tidak mampu menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga, sehingga daripada bermasalah di rumah lebih baik bepergian, menginap di luar kota. Lalu kalau begini kapan bahagianya?

Dalam tulisan saya sebelumnya menguraikan, pada dasarnya yang diinginkan manusia adalah kebahagiaan dan menolak penderitaan atau musibah. Namun kadang konsep-konsep yang ditawarkan juga beragam. Sebagian beranggapan kebahagiaan itu seperti komoditas : misal membelinya melalui rumah, mobil mewah, baju baru, kosmetik, bahkan operasi plastik. Ada juga yang mencarinya dengan keterkenalan, kekayaan, uang, tabungan, jabatan, nama baik, jaim dan sebagainya (Gede Prama, 2006). Dan ada juga yang mencarinya dengan obat-obatan, minum-minuman dan segala perbuatan tercela lainnya (kami berlindung kepada Tuhan dari hal-hal sedemikian)

Namun fakta empiris dan semua ajaran suci mengatakan bahwa itu semua adalah kebahagiaan yg seperti ini yang dibeli atau datang dari luar (ekstrinsik) maka sifatnya akan datang dan pergi, tidak berakar, keropos, mudah diterbangkan angin, begitu komoditinya hilang maka kebahagiaannya menjadi hilang. Apalagi ketika kebahagiaan atau kesenangan yang dicari asimetri dengan ajaran suci. Maka yang didapat hanyalah kemuraman.

Ada juga yang bahagianya tergantung orang lain. Orang lain mampu membuat sedih dan bahagia pada diri kita. Pada dasarnya ketika ini terjadi, kita sudah memberikan saklar kebahagiaan kita pada orang lain. Bukan kita yang memutuskan bahagia atau tidak, melainkan orang lain. Mereka yang menguasai saklar, mereka yang memutuskan. Mestinya jangan sembarangan kita berikan saklar keputusan penting kita pada orang lain.

Ditemukan juga fakta menarik yang banyak terjadi pada menimpa kita semua. Yaitu ketika komoditinya tidak hilang, komoditinya masih melekat dalam dirinya, masih kita punyai, namun kebahagiannya telah pergi. Orang itu masih punya rumah mewah, masih punya mobil bagus, kaya dan keluarga lengkap serta sehat, namun anehnya dia merasa tidak bahagia.

Sebagai contoh sederhana misalnya, dahulu ketika sebagian dari kita masih kekurangan, belum punya kendaraan, berangkat kerja di antar sampai ditepi jalan. Kemudian bersalaman dengan hangat, disertai cium dan peluk istri-anak, rasanya seperti guyuran air terjun wisata yang percikan air dan embunnya segar menerpa wajah kita. Namun paradok dengan masa lalu, setelah kendaraan bagus dimiliki, justru hilang ”rasa” itu. Dengan alasan nyuci mobil, mengecek oli, atau memanaskan mesin sepertinya sudah tidak sempat lagi kehangatan itu kita rasakan. Tidak sempat lagi alasannya. Rasa ”bahagia” itu sudah hilang tanpa harus komoditinya hilang terlebih dahulu.

Bahagia adalah merupakan putusan kita dalam memilih. Dengan komoditi yang ada atau komoditi yang sama, kita bisa memutuskan memilih bahagia atau tidak bahagia. Dengan sarana atau tanpa sarana atribut dunia kita bisa bahagia. Kita bisa memilih bahagia hari ini atau juga tidak berbahagia hari ini. Komoditi / Faktor eksternal memang dapat mempengaruhi kebahagiaan kita, namun tetap pada akhirnya kita yang memutuskan.

Maka putuskanlah anda untuk berbahagia, karena dengannya semua fikiran, perasaan dan tindakan Anda akan berfokus kepada yang membahagiakan (Mario Teguh,2010)

PUTUSKANLAH untuk BERBAHAGIA......
Waktu yang terbaik untuk berbahagia adalah hari ini...dan pada suatu hari di surga nanti..
Tempat terbaik untuk berbahagia adalah di sini...dan pada salah satu taman dari taman di surga kelak
Metode agar mendapat Kebahagiaan yang bertambah-tambah adalah dengan bersyukur..
Mengawetkan kebahagiaan adalah dengan lapang hati, ridho & merasa cukup....
Cara tercepat mendatangkan kebahagiaan adalah dengan memberikan kebahagiaan pada sesama..

Atau MEMUTUSKAN UNTUK TIDAK BAHAGIA...???
Cara terbaik untuk menghilangkan kebahagiaan adalah dengan berma’siyat pada-Nya..
Cara menunda kebahagiaan adalah dengan memilih hari tertentu untuk bahagia..
Cara termudah merusak kebahagiaan adalah dengan menyakiti sesama…
Cara tersulit untuk berbahagia adalah dengan serakah & mementingkan diri sendiri…

Putuskanlah sendiri SEKARANG juga untuk menyelimuti hidup kita dengan kebahagiaan…
Pancarkan & bagi kebahagiaan kita SETIAP HARI pada semesta….
BAHAGIALAH di DUNIA..
BAHAGIA pula di SURGA..
……………………………………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar