Pulang ke kotamu…ada setangkup haru dalam rindu..
masih seperti dulu…tiap sudut menyapaku bersahabat…
Penuh selaksa makna…terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu..nikmati bersama suasana Jogja..
(Kla Project,Katon Bagaskara)
Setiap orang tentu punya tempat untuk “kembali”. tempat yang menjadikan seseorang merasa nyaman,aman dan merasa “ada di rumah”.Tempat yang penuh kenangan dan menimbulkan semangat suatu saat kita akan mampir singgah, mengunjunginya atau membangunnya. Biasanya tempat tersebut adalah kampung kelahiran kita. Tempat di mana segala suka (dukanya relatif sedikit, karena anak kecil biasanya selalu penuh dengan keceriaan) meramu kita menjadi besar dan dewasa. Entah kenapa Yogyakarta yang bukan tempat kelahiran saya, namun sepertinya memiliki magnet yang sama dengan kampung halaman saya. Ada keramahan dan keindahan yang khas di sana.
Berawal dari tawaran beasiswa yang membolehkan memilih tempat kuliah. Tanpa keraguan penulis pilih kota Yogyakarta di universitas yang dulu tidak jadi memasukinya karena lebih memilih sekolah gratis di ibukota. Langkah pertama di Jogja (sampai sekarang masih suka bingung mana yang benar sih Yogja, Yogya, Jogja atau Djogdja he..he) di stasiun tunggu nan eksotis, seorang sahabat sudah menunggu dengan setia dan mengantarkan ke kampus serta menawarkan tinggal di rumahnya (keramahan pertama yang saya temui).
Setelah dibantu mencari tempat tinggal, karena tak mau merepotkan sahabat, penulis memilih kos di pinggiran kota, sekitar 4 km dari kampus, dekat persawahan dengan alasan “murah” dan tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah “suasana alam” yang sulit dijumpai di Jakarta. Makan malam pertama di tempat yang baru, juga cukup membuat terkaget-kaget. Pertama dengan “harga” yang sangat murah (padahal warungnya lumayan besar dan bersih). Kekagetan kedua adalah ketika duduk bersebelahan dengan seorang remaja putra, dengan senyum dan ramahnya dia mempersilakan duduk di bangku sebelahnya yang kosong. Setelah mengucapkan terima kasih sambil menata makanan, ternyata keduluan dalam memulai percakapan “Baru tinggal di sini ya Mas?”tanyanya. Sambil tersenyum saya jawab “iya”. Percakapan mengalir sampai habis makanan kami. Yang membuat saya terkaget-kaget adalah, remaja tadi masih SMA (wow keramahan kedua yang saya temui).
Saya datang persis satu hari sebelum ramadhan di Yogyakarta. Pada saat sehabis sholat Isya dan tarawih di masjid dekat kos, lagi-lagi dikejutkan dengan keramahan yang luar biasa. Tiga orang dari jama’ah masjid tersebut mengajak ngobrol selepas tarawih, belakangan baru saya ketahui, bahwa salah satu di antara mereka adalah ketua masjidnya (keramahan ketiga yang saya temui).
Selang beberapa waktu motor yang merupakan kendaraan utama kalau tinggal di Yogya, dikirim dari Jakarta via mobil box yang disewa sahabat yang juga kebetulan pindahan dari Jakarta, dan semuanya gratis (keramahan keempat dari penduduk Yogya & sekitarnya). Suatu ketika saya parkir motor di sebuah pertokoan jalan protokal, saya memberikan uang seribuan (karena biasanya di Jakarta seribuan) kepada tukang parkir dan langsung menstarter motor. Tiba-tiba Mas tukang parker, dengan tergopoh-gopoh memberikan uang kembalian 500 perak kepada saya, dan mengucapkan dengan senyum tulus “kembaliannya Mas, matur nuwun nggih mas (terima kasih ya Mas, dalam bahasa yang halus/kromo inggil)”(keramahan ke sekian dari sekian banyaknya keramahan, termasuk keramahan kota dan alamnya).
Satu dua bulan setelah pulang ke Jakarta, Merapi meletus. Sedih tak terkira mendengarnya. Dan musibah yang tidak kalah dahsyatnya juga terjadi hampir berbarengan di Mentawai, Wasior dan juga beberapa tempat lainnya (ketiga tempat itu ternyata juga adalah tempat-tempat yang sangat indah di bumi nusantara). Semuanya melantunkan senandung duka yang sangat dalam. Musibah, penderitaan, sakit dan perih yang membuat tumpah air mata dan darah bangsa kita tercinta.
Seorang sahabat terbaik saya mengatakan pada saya, ketika ada sebuah musibah maka akan timbul di sana solidaritas. Ketika solidaritas itu nampak, maka berikutnya akan timbul soliditas, dan ketika soliditas sudah terwujud maka masalah akan menjadi ringan dan bisa cepat diatasi, bahkan tujuan tujuan besar pun akan dapat dicapai. Untuk itulah di samping solidaritas bersifat materi (tangible), saya juga pengin berbagi solidaritas non-materi (intangible). Salah satu sahabat di Yogya sempat mengirimkan pesan via Facebook “Mas, kalo masih sayang Jogja, tolong bantu kami ya” . Keharuan menyeruak dalam hati, membaca pesannya. Rumahnya sekarang jadi pos pengungsi dan hanya berjarak sekitar 2 km dari tempat saya tinggal di Yogyakarta. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi salah satu bentuk solidaritas yang bersifat non-materi.
Mineral kehidupan…
Selama kita masih menghirup nafas, selama darah masih mengalir dan jantung masih berdetak maka adalah sebuah kemestian jika rintangan, musibah dan ujian-ujian lainnya akan silih berganti datang dan pergi. Dan perspektif tentang ujian/musibah itu sendiri sangat beragam, berbeda-beda,sesuai dengan perspektif yang dimiliki oleh seseorang. Asal kata musibah sendiri yang berasal dari bahasa Arab ashaaba, yushiibu, mushiibatan yang berarti segala yang menimpa pada sesuatu kaum baik berupa kesenangan maupun kesusahan, akan tetapi umumnya musibah selalu identik dengan kesusahan, padahal, kesenangan yang dirasakan pada hakikatnya juga musibah juga. Kita semua pada umumnya mengatakan musibah adalah sesuatu yang tidak disukai akan menimpa seorang di antara kita. (Ibrahim Anis,2010)
Pada dasarnya yang diinginkan manusia adalah kebahagiaan dan menolak penderitaan/musibah. Namun kadang konsep-konsepnya juga beragam. Sebagian beranggapan kebahagiaan itu seperti komoditas : membelinya melalui rumah, mobil, baju baru, kosmetik, bahkan operasi plastik. Ada juga yang mencarinya dengan keterkenalan, kekayaan, uang, tabungan, jabatan, nama baik, jaim dan sebagainya (Gede Prama, 2006). Namun fakta empiris dan semua ajaran suci mengatakan bahwa itu semua adalah kebahagiaan yg seperti ini yang dibeli/datang dari luar (ekstrinsik) maka sifatnya akan datang dan pergi, tidak berakar, keropos, mudah diterbangkan angin, begitu komoditinya hilang maka kebahagiaannya menjadi hilang.
Ada lagi fakta menarik yang banyak terjadi pada menimpa kita. Yaitu ketika komoditinya tidak hilang, komoditinya masih melekat dalam dirinya, masih kita punyai, namun kebahagiannya telah pergi. Orang itu masih punya rumah mewah, masih punya mobil bagus, kaya dan keluarga lengkap serta sehat, namun anehnya dia merasa tidak bahagia.
Sebagai contoh sederhana misalnya dulu waktu masih kekurangan, belum punya kendaraan, berangkat kerja di antar sampai ditepi jalan, bersalaman dengan hangat, cium dan peluk istri dan anak seperti guyuran air terjun grojogan sewu yang percikan air dan embunnya menerpa wajah kita. Namun setelah kendaraan bagus di miliki, dengan alasan nyuci mobil dulu, ngecek oli dan panasin mesin sepertinya sudah tidak sempat lagi kehangatan itu kita rasakan, tidak sempat lagi alasannya. Rasa ”bahagia” itu sudah hilang tanpa harus komoditinya hilang dulu.
Kebahagiaan itu seolah telah dicabut dari dalam dirinya, tanpa harus komoditinya pergi. Ini termasuk musibah yang tidak berbentuk materi (intangible). Hal ini merupakan suatu keadaan yang justru bisa sangat membahayakan. Keadaan yang tak jarang membuat kehidupan seseorang berujung menjadi tragedi. Bahkan kadang-kadang seperti sudah mengalami mati rasa sebelum kematian yang sebenarnya. (kita berlindung kepada-Nya dari hal-hal yang demikian).
Namun di sisi lain, ada juga seorang yang hidupnya terlihat penuh dengan penderitaan dan kesedihan. Namun orangnya sendiri merasa bahwa dia sangat berbahagia dan berkelimpahan. Dia selalu merasa dalam kecerahan dan bahkan mampu menyinari dengan cahayanya. Kesedihan yang nampak bagi sebagian orang adalah musibah, namun bagi orang tertentu justru merupakan vitamin dan mineral bagi keindahan jalan hidupnya.
Bagimana menghadapinya.....?
Ketika kita menghadapi ujian berupa musibah, tentu perlu cara dan tips bagaimana cara menghadapinya. Ada banyak cara dan sumber yang bisa kita dapatkan dengan mudah, semudah kita mencari air di bumi pertiwi kita yang subur. Sumber yang paling otentik dan handal tentu saja adalah ajaran dari buku suci kita. Tentu saja tiap orang seharusnya eloquent (fasih berbicara) dengan bahasa kitab sucinya masing-masing, walaupun kadang premis ini tidak benar. Padahal sumber energi dan solusi demikian gamblang tercantum dalam buku suci kita. Namun tetap saja ada juga yang enggan mengenalinya. Untuk kali ini, izinkan saya untuk tidak mengadopsinya secara langsung. Tentu saja cara menghadapi masalah ini bukan hanya untuk musibah besar saja melainkan juga musibah kecil yang boleh jadi kalau tidak tertangani dengan bijak akan bisa menjadi besar.
1.Hati yang lapang
Kisah ini saya yakin pembaca sering mendapatinya (biasanya di internet), namun izinkan saya menuliskannya kembali. Ada seorang pemuda yang sedang mengalami masalah yang menurutnya sangat-sangat berat. Karena putus asa kemudian dia mengadukannya kepada seorang bijak di suatu kampung. Setelah menceritakan masalahnya, orang bijak tersebut menyuguhkan segelas air bening untuk di minum. Sebelum diminum orang bijak tersebut menuangkan dalam segelas air tadi sejumput/sejempol garam dapur lalu diaduknya. ”Minumlah nak” kata si orang bijak. Begitu di minum sang pemuda memuntahkan lagi air tersebut ”Puhh, asin guru!!! Teriak si pemuda. Kemudian orang bijak tersebut mengajak sang pemuda ke dapur rumahnya, mengambil garam yang sama besarnya (sejumput/sejempol garam) lalu menuangkan ke dalam gentong air besar cadangan air bersih dirumahnya. Lalu diaduknya dan kembali disuruh sang pemuda tadi meminumnya. ”Bagaimana rasanya nak?” kata si orang bijak. ”Segaaar guru!!! jawab sang pemuda.
Garam yang sejumput/sejempol tadi adalah gambaran permasalahan yang kita hadapi (setiap orang memiliki permasalahan yang mirip-mirip, misal masalah ekonomi, pendidikan anak, penyakit, rumah tangga, kantor dll). Namun cara kita menghadapinya berbeda-beda. Kalau kita menghadapinya dengan hati yang sempit (sesempit gelas), maka akan terasa sesak walaupun sebenarnya masalahnya sama. Namun kalau kita menghadapinya dengan hati yang lapang (selapang gentong), maka seberat apapun masalahnya akan tetap terasa ringan.
2.Perspektif pikiran yang panjang / luas
Ketika kita menghadapi masalah, kalau kita berpikiran hanya saat itu, maka akan terasa sungguh berat. Namun kalau perspektif pikiran panjang, akan sungguh menjadi ringan. Sebagai contoh sederhana, misal dari 2 hari kebanjiran di Jakarta maka sisa hari lainnya yaitu 363 hari kita sebenarnya bebas banjir, nikmatnya ternyata jauh lebih panjang dari penderitaannya. Kalo perspektif ini kita miliki, tentu masalah akan terasa ringan. Oh ternyata banyak hari lain yang tidak kebanjiran. Contoh perspektif yang luas, oh ternyata banyak juga loh yang ujiannya lebih berat dibandingkan kita.
Konsep perspektif pikiran yang panjang juga adalah, konsep bahwa di samping kehidupan di dunia ada juga kehidupan dan keadilan di akhirat. Ini termasuk yang membuat perspektif pikiran kita menjadi panjang. Bahwa sebesar dan sekecil apapun yang menimpa kita suatu saat nanti ada imbalan atasnya dengan balasan yang adil. Bahkan sekalipun kehilangan yang paling besar (kehilangan salah satu dari kekasih kita dari ahli dunia), maka akan dibalas dengan surga (Nawawi,2006). Bahwa kehidupan nanti akan lebih panjang dan lebih lama, membuat kita merasa ringan menghadapi musibah.
3.Mahir Bersyukur
Orang yang sedang diberikan kelimpahan dan kesenangan tentu saja harus bersyukur. Namun ada lagi yang lebih hebat yaitu orang yang pandai atau mahir dalam bersyukur. Ketika mendapatkan masalah dia tetap bersyukur, ini berat dan butuh latihan (Harefa, 2010). Ketika menghadapi ujian, orang yang pandai bersyukur akan tetap bersyukur dan merasa bahwa itu merupakan bagian pembukaan dari anugerah yang tertunda. Sama pada saat kita menghadapi ujian di sekolah maka akan terasa sangat berat, kadang bahkan sampai sakit. Namun setelah selesai ujian kita merasa sangat lega dan puas apalagi kalau lulus ujian. Dan setelah ujian akan dapat anugerah naik kelas (Gede Prama, 2006 ). Mungkin saja akan ada anugerah besar bagi kita setelah musibah, minimal adalah ampunan atas segala kesalahan kita, dan itu pasti. Boleh jadi kotoran hewan bagi penduduk jakarta seperti kita, menggambarkan kekotoran/penyakit, tapi bagi petani di kampung itu adalah aset yang besar. Bisa jadi hujan di Jakarta adalah sarana datangnya banjir dan kemacetan. Namun di penjuru kampung hujan adalah anugerah yang ditunggu-tunggu. Tidak layakkah kita bersyukur untuk semua keadaan?
Demikian juga mungkin saja ada anugerah besar yang akan disiapkan untuk negeri kita tercinta. Sejarah konon kabarnya senantiasa berulang-ulang. Bahkan ada yang mengatakan hukum besi sejarah. Kalau melihat pengulangan sejarah yang deterministik dalam sebuah grafik tentang berulangnya kejayaan-kejayaan negara-negara di dunia, terlihat bahwa masa ini, adalah saatnya ras mongolian akan kembali memimpin peradaban dunia (Bambang Sudibyo,2010). China, Jepang dan tentu saja Indonesia termasuk dalam ras mongolian, dan boleh jadi sejarah akan berulang. Tentu saja syaratnya harus dibarengi dengan kebaruan (novelties) yang kreatif dan probabilistik.
4.Hovering/Helicopter view
Ketika kita mengadukan masalah kita kepada Tuhan, maka adukanlah dengan konsentrasi yang sungguh-sungguh (khusu’). Pada saat kita menyebut nama Dia Yang Maha Besar, maka seharusnya urusan yang lain menjadi kecil. Seperti helikopter pada saat meninggalkan landasannya terbang vertikal melayang ke atas (hovering), maka landasannya menjadi semakin mengecil. Pada saat kita berkomunikasi harian langsung dengan Tuhan maka semua urusan dan masalah dunia seharusnya semakin mengecil..semakin kecil..kecil..kecil.
5.Terus Bekerja/Melakukan perbaikan (Continuous Improvement)
Pada saat musibah terjadi, tentunya kurang bijak kalau kemudian kita bersifat fatalistik dengan mengatakan ”ini semua adalah taqdir Tuhan, ini wujud murka Tuhan, kita tidak bisa apa-apa”. Sebagai seorang manusia kita berkewajiban terus melakukan perbaikan-perbaikan sehingga alam menjadi sarana dan sahabat bagi kesejahteraan bersama. Dan bisa jadi ada korelasi yang positif antara perilaku kita dengan beberapa kejadian alam. Termasuk dalam hal ini adalah tindakan, pekerjaan, tabiat dan ahlak kita semua. Di samping terus berdoa, kita juga tetap terus bekerja. Salah satu pemimpin yang bernama Umar bin Khottob, ketika terjadi wabah penyakit di sebuah negerinya, dia segera berupaya keluar dari negeri tersebut. Ketika dipertanyakan oleh para sahabatnya, ”apakah kamu hendak lari dari takdir Allah???” maka Umar menjawab dengan tegas ”Ya, aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain”. Senantiasa bekerja secara harmoni dengan alam, dan terus melakukan perubahan/perbaikan adalah merupakan tugas kita sebagai manusia. Kemudian terus bekerja keras bantu-membantu ketika musibah adalah juga merupakan kewajiban bagi kita selaku insan.
Tentunya sangat banyak cara-cara dan tips bagaimana bisa menghadapi musibah dan masalah. Ada banyak cara juga yang bisa disampaikan untuk membantu, membesarkan dan menguatkan hati saudara-saudara kita di wasior, mentawai, Yogyakarta dan tempat lainnya. Paling minimal adalah doa yang tulus harus sentiasa kita panjatkan kepada-Nya agar saudara-saudara dan sahabat-sahabat kita, sabar dan kuat menghadapinya, dan juga agar saudara kita yang dipanggil menghadap-Nya, ditempatkan di salah satu taman dari taman-taman surga-Nya..amin.
Coming home to your town…I’m caught by the stir of my longin..
still the same as before..Every corner is a friendly greeting…
Fully satiated with meaning…lost in the sensation of nostalgia
Of the moments when we were spending time…
enjoying Jogja’s ambience together…
…………………….Please allow me to always return…
Kla Project, Katon Bagaskara)
Arkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar